Tulisan ini merupakan kelanjutan dari topik "Mensyukuri Apa yang Ada"....
Setelah mendengar uraian kata – kata dari orang bijak, tentang “mensyukuri apa yang ada” si pemuda masih terlihat merasa ada sesuatu yang menggelayut dalam relung fikirannya. Hatinya membenarkan tentang apa – apa yang diungkapkan oleh orang bijak, namun fikirannya tetap kalut. Masih terbayang – terbayang bagaimana ia harus menutup kerugian yang akan dia derita, namun di sisi lain ia harus tetap bersyukur, namun demikian ia mencoba menekan kekalutan fikirannya.
Setelah agak lama terdiam si pemuda, mulai berkata lagi “Begini pak, beberapa saat yang lalu saya juga pernah mengikuti sebuah seminar yang membahas tentang pengaruh syukur dalam keberlimpahan, salah satu komponennya adalah bila kita ingin keinginan kita dicukupi, kita harus membiasakan diri untuk bersyukur. Ini berkaitan dengan hukum Law Of Attraction.”,
Mendengar ungkapan tersebut, orang bijak berkata, “Membiasakan diri untuk bersyukur, itu baik dan memang sudah seharusnya kita harus selalu bersyukur dan sebenarnya syukur itupun sesungguhnya anugerah. Namun demikian bila sikap syukurmu itu, dilandasi keinginan untuk bisa tercapai segala keinginanmu, jangan – jangan sikap syukurmu itu palsu…., hanya berpura – pura syukur…., bahkan yang lebih tragis lagi, kamu malah mendikte gusti Allah.”
Mendengar kata – kata orang bijak tersebut, si pemuda jadi tambah bingung lagi. Satu sisi fikirannya masih terbayang kerugian yang ia akan derita, disisi lain ia mendapat pemahaman yang baru dari orang bijak tersebut.
Setelah beberapa lama, orang bijak melanjutkan pembicaraannya,
“Begini, seumpama saya mempunyai tiga orang anak asuh, yang kebetulan usianya relatif sama. Suatu saat saya memberikan kepada tiga anak tersebut, masing – masing satu buah sepeda motor. Sepeda motor tersebut jenis dan harganyapun semua sama. Bagaimana perasaan di hati ketiga anak tersebut ?.
Anak pertama, begitu bergembira atas pemberian sepeda motor tersebut. Kegembiraanya karena dengan mempunyai sepeda motor ia bisa jalan – jalan kemana ia suka. Perasaan gembira dalam hati anak ini, lebih disebabkan karena ia memperoleh sepeda motor semata tanpa melihat ungkapan kasih sayang dari saya, jadi seandainya di tengah jalan …. Ada orang yang memberi ia sepeda motorpun, sikap kegembiraannya akan sama dengan yang memberi sepeda motor dari saya. Jadi intinya ia lebih melihat kenikmatan sepeda motor tersebut, tanpa membedakan dari mana sepeda motor itu ia dapat. Dalam hati kecilnyapun ia akan berupaya apapun, demi mendapatkan kenikmatan sepeda motor tanpa melihat dari mana pemberinya.
Anak Kedua, ia bergembira dengan sepeda motor tersebut. Kegembiraannya karena dengan adanya sepeda motor ia bisa lebih mudah menjalankan apa – apa yang mungkin saya inginkan. Iapun lebih senang karena yang memberikan sepeda motor tersebut bukan orang lain, namun saya. Jadi, seandainya di tengah jalan ada orang yang memberikan ia sepeda motor kegembiraanya, jauh – jauh dibawah dibanding bila yang memberikan sepeda motor tersebut adalah saya. Dalam hati kecilnyapun ia akan berupaya menggunakan sepeda motor tersebut, sepanjang sesuai dengan kehendak saya, dan tak akan menggunakan bila dilarang saya.
Anak ketiga, ia bergembira dengan sepeda motor tersebut, namun kegembiraanya semata – mata karena sifat kerendahan hatinya. Dalam hatinya ternyata ia tidak benar – benar menginginkan sepeda motor tersebut. Bahkan seandainya sepeda motor itu tidak saya berikan, hatinyapun akan tetap bergembira sepanjang ia dekat dengan saya. Ia ingin selalu menyenangkan hati saya, mematuhi segala apa yang saya suruh dan menghindari segala larangan saya. Sepeda motor yang ia terima, hanya benar-benar sebagai sarana agar ia bisa lebih dekat, lebih mematuhi saya.”
Agak lama, si pemuda mencerna kata – kata dari orang bijak tersebut. Fikirannya masih agak rancu membedakan karakter anak pertama, anak kedua dan anak ketiga.
Belum selesai ia mencerna kata – kata orang bijak. Orang bijakpun berkata lagi,
”Anak pertama, sesungguhnya ia tidak masuk kategori bersyukur...karena kegembiraannya hanya berorientasi kepada kenikmatan materi belaka, tidak kepada pemberi kenikmatan. Anak kedua sudah masuk kategori bersyukur, namun syukurnya ia karena berharap balasan dariku dan karena takut kepadaku. Sedangkan anak ketiga adalah yang paling utama, karena rasa syukurnya karena kecintaannya untuk mendekatiku.”
Si pemudapun, lagi – lagi masih termenung terdiam diri. Fikirannya membumbung ke awan tinggi, sementara tenggorokannya mulai terasa kering, namun ia belum menyadari bahwa didepannya sudah terhidang segelas es teh manis yang siap diminum.
0 komentar:
Posting Komentar